Kisah ini bermula pada tahun 1964. Di Institut Pertanian Bogor (IPB), seorang pemuda cerdas asal Aceh bernama Mohamad Kasim Arifin sedang bersiap menyelesaikan studi akhirnya. Sebagai syarat kelulusan, ia mendaftar dalam program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) cikal bakal KKN.
Tugasnya terdengar sederhana secara administratif: pergi ke Waimital, Pulau Seram, Maluku, selama tiga bulan untuk membantu para petani transmigran, mengumpulkan data, lalu pulang untuk menyusun skripsi dan diwisuda. Dengan semangat muda, Kasim berangkat membawa buku-buku teori pertaniannya, membayangkan akan menerapkan ilmu modern di tanah timur.
Namun, sesampainya di Desa Gemba, Waimital, teori di kepalanya berbenturan keras dengan realitas.
I. Guncangan Nurani
Pemandangan di Waimital menyayat hati. Kasim menemukan para transmigran yang ditempatkan pemerintah hidup dalam keterlantaaran. Hutan masih terlalu lebat, tanah keras dan gersang, serta hama tikus dan babi hutan merajalela menghabisi tanaman. Janji pemerintah akan lahan subur ternyata kosong. Para petani itu kelaparan, memakan umbi hutan seadanya, terisolasi tanpa jalan keluar. Di sinilah batin Kasim bergejolak hebat.
Ia dihadapkan pada dua pilihan:
- Menjadi “Mahasiswa Peneliti”: Mengambil data kemiskinan mereka, menyelesaikan tugas 3 bulan, lalu pulang ke Bogor untuk memakai toga, meninggalkan petani itu mati perlahan.
-
Menjadi “Manusia”: Melupakan gelarnya, tinggal di sana, dan ikut berjuang agar mereka bisa makan.
Nurani Kasim menang. Ia memilih opsi kedua. Saat masa tugas 3 bulannya habis, ia menolak naik kapal pulang. Ia menyurati kampusnya, mengatakan ia belum bisa kembali. Tiga bulan berubah menjadi satu tahun. Satu tahun berubah menjadi lima tahun. Dan akhirnya, ia menetap di sana selama 15 tahun.
II. Menjadi “Antua” dan Kaki yang Tak Beralas (1964-1979)
Selama satu setengah dekade, Kasim melebur total. Ia menanggalkan identitas mahasiswanya. Pakaian kotanya hancur dimakan waktu, digantikan kaos oblong lusuh dan celana pangsi penuh tambalan. Ia berhenti memakai sepatu karena rakyat di sana tak punya sepatu. Kakinya yang dulu mulus kini menebal, kapalan, melebar, dan pecah-pecah (rondo) karena setiap hari menghajar tanah berbatu dan lumpur sawah.
Di Waimital, Kasim bukan lagi mahasiswa, ia adalah pemimpin tanpa jabatan. Ia dipanggil “Antua” sosok yang dituakan dan dihormati. Tanpa bantuan pemerintah pusat dan tanpa alat berat, Kasim memimpin revolusi infrastruktur desa dengan tangan kosong:
- Membuka Jalan: Ia memimpin warga membabat hutan belantara dengan parang dan cangkul untuk membuka jalan tembus dari Desa Gemba ke pantai. Jalan ini menjadi urat nadi yang membebaskan desa dari isolasi.
-
Irigasi Tanpa Semen: Dengan ilmu teknik sipil pertaniannya, ia menyusuri sungai mencari mata air. Ia merancang bendungan dan saluran irigasi tanpa semen setetes pun. Ia mengajari warga menyusun batu, tanah liat, dan batang kelapa dengan teknik presisi agar tahan air.
-
Pertanian: Ia mengajarkan cara menanam padi yang benar, mengubah lahan kering menjadi sawah yang subur dan swasembada. Ia mendamaikan konflik antarwarga. Ia menjadi “bapak” bagi ribuan orang di sana.
Sementara di Bogor, teman-teman seangkatannya sudah lulus, menjadi pejabat, direktur, dan dosen. Kasim dianggap “hilang” atau mungkin sudah mati di rimba Maluku.
III. Misi Penyelamatan Sang Sahabat
Di IPB, Rektor Prof. Dr. Andi Hakim Nasution seorang akademisi yang bijak mendengar kabar tentang Kasim. Ia tahu Kasim tidak sedang malas, melainkan sedang menerapkan “ilmu kehidupan” yang sesungguhnya. Prof. Andi Hakim menolak men-DO Kasim. Sebaliknya, ia ingin memulangkan “anak hilang” itu untuk diberi penghargaan.
Rektor mengutus Saleh Widodo, sahabat karib Kasim yang sudah menjadi dosen, untuk menjemputnya. Saleh terbang ke Maluku dengan satu misi: membawa Kasim pulang, hidup-hidup.
Pertemuan dua sahabat di Waimital itu sangat emosional. Saleh Widodo, dengan pakaian rapi orang kota, berdiri berhadapan dengan Kasim Arifin yang kurus kering, hitam legam, bergigi rusak, dan berpakaian compang-camping. Saleh menangis memeluk sahabatnya.
Awalnya, Kasim menolak mentah-mentah. “Tugasku belum selesai. Sawah ini siapa yang urus?” katanya. Namun, Saleh mengeluarkan kartu terakhirnya. Ia tidak bicara soal ijazah, tapi soal bakti.
“Sim, pulanglah. Orang tuamu di Aceh sudah sepuh dan sakit-sakitan. Ibumu hanya ingin melihat wajahmu sekali lagi sebelum beliau wafat. Apakah kau tega?”
Pertahanan Kasim runtuh. Demi ibunya, sang “Antua” akhirnya bersedia meninggalkan tanah yang sudah ia sirami dengan keringat dan darah selama 15 tahun. Kepergiannya diiringi tangisan ribuan warga Desa Gemba yang merasa kehilangan pelita hidup mereka.
IV. Skripsi Suara dan Wisuda Air Mata (1979)
Kembali di Bogor, Kasim seperti orang asing. Ia canggung dengan keramaian kota. Ia lupa cara menulis akademis. Ia tak sanggup menyusun skripsi dengan standar ilmiah yang kaku.
Mengetahui hal ini, IPB melakukan terobosan sejarah. Rektor memutuskan Kasim tidak perlu menulis. Kasim hanya diminta duduk, lalu menceritakan secara lisan apa saja yang ia kerjakan selama 15 tahun. Rekaman suaranya itu ditranskrip oleh teman-temannya, disusun menjadi dokumen, dan itulah yang dianggap sebagai skripsinya. Isinya bukan teori, tapi praktik nyata pembangunan masyarakat. Hari wisuda pun tiba, 22 September 1979.
Di Graha Widya Wisuda IPB, Kasim duduk di deretan wisudawan. Teman-temannya memaksanya memakai jas dan sepatu. Namun, karena kakinya sudah terlalu lama telanjang dan melebar secara alami, sepatu itu menyiksa kakinya. Ia berjalan tertatih-tatih menahan sakit demi menghormati acara.
Saat nama “Ir. Mohamad Kasim Arifin” dipanggil, suasana hening sejenak, lalu meledak. Seluruh hadirin dosen, rektor, wisudawan lain, dan orang tua mahasiswa berdiri (standing ovation). Tepuk tangan bergemuruh diiringi isak tangis yang tak tertahan.
Sastrawan Taufiq Ismail, yang hadir di sana, membacakan sebuah puisi yang ditulis khusus untuk Kasim, dengan suara bergetar:
“Kau tidak menulis skripsi di atas kertas, Sim. Tapi kau menulis skripsi di atas tanah Waimital. Tinta yang kau pakai adalah keringatmu sendiri… Kau lulus dengan yudisium summa cum laude… Di mata rakyat Waimital, dan di mata hati kami.”
Hari itu, Kasim Arifin mengajarkan kepada seluruh Indonesia bahwa gelar sarjana hanyalah selembar kertas, namun pengabdian adalah tinta emas yang tak akan pernah luntur. Ia adalah monumen hidup tentang ketulusan yang bekerja dalam sunyi